Mata Kuliah Pengembangan Kepri
Ayah: Kisah Buya Hamka Masa Muda, Dewasa, Menjadi Ulama, Sastrawan, Politisi, Kepala Rumah Tangga, Sampai Ajal Menjemputnya.
Siapa tak kenal Buya Hamka? Sosok ulama cemerlang dengan pemikiran, dakwah, dan buku-bukunya yang monumental. Buya Hamka adalah penyair, novelis, budayawan yang menjadi rekam jejak kebangkitan kesusasteraaan Indonesia. Putra Minangkabau bernama lengkap H Abdul Malik Karim Amrullah telah aktif di dunia politik nusantara dan turut berpartisipasi dalam kemerdekaan, sehingga layak disebut pahlawan nasional. Namun, di balik semua gelar dan kehormatan yang diberikan orang kepadanya, di mata anak-anaknya Buya Hamka jugalah seorang ayah.
Ayah, sebuah panggilan penuh isyarat yang melambangkan keterikatan fisik dan batin seseorang. Irfan Hamka, anak ke-5 Buya Hamka tentunya telah berhasil menerjemahkan keterikatan kehidupan itu menjadi sebuah memorabilia anak dan ayah yang indah. Dengan menuliskannya melalui buku ‘Ayah:Kisah Buya Hamka’ yang diterbikan Republika Penerbit ini hendaknya menjadi jariyah cinta bagi semua pembaca dan pengagum Buya Hamka.
Di tengah degradasi moral yang semakin menjadi-jadi di masyarakat saat ini, buku Ayah yang disusun Irfan Hamka seolah menjadi ruang untuk bercermin bagi anak dan orang tuanya. Bab per bab buku ini, memaktubkan kisah-kisah abadi Irfan dan Ayahnya. Seluruhnya, mulai masa kecil Irfan dalam sepengasuhan sang Ayah, remaja, dewasanya sebagai seorang aktivis Islam yang berpandangan luas, hingga potongan kisah berhajinya sekeluarga dimuat buku ini. Yang menakjubkan, ketika menelusuri bab per babnya, kita bisa menikmati sensasi getir manis memorabilia Irfan terhadap Ayah sembari berguru dan membaca diri. “Sudah sejauh apa balas budimu pada orangtua? Sudah sampai di mana kamu mendidik anak-anak dan keluargamu?” Pertanyaan ini terus membatin dalam diri saya saat membacai biografi Buya Hamka.
Kedudukan yang diemban Irfan dan semua orang di dunia ini pada dasarnya sama. Pernah menjadi seorang anak dan kini berputar pula menjadi orangtua yang telah beranak. Akan tetapi nilai dan proses yang ditangkapnya semasa hidup sudah pastilah berbeda dengan yang dilakukan anak-anak lain di luar sana yang telah menjadi ayah. Menuliskan kehidupan pribadinya dalam didikan sang Ayah yang keras dan lurus berislam, tentunya bukan cara mudah. Dibutuhkan ketulusan, tekad, dan cinta yang besar, mengingat usia Irfan saat menulis buku ini sudah berusia senja.
Sosok Buya Hamka yang digambarkan Irfan melalui plot cerita maju-mundur, menunjukkan kepada pembaca bahwa keterikatan perasaan adalah sesuatu yang tumbuh dan bergerak. Seorang anak bisa mengingat masa lalunya dengan jernih, tentulah karena didikan orangtua yang sukar dilupakan. Dengan buku ini, tokoh Irfan kecil, remaja, dan dewasa secara tak langsung merangkul pembaca untuk lebih mengenal Buya Hamka tanpa segala embe-embel yang dikalungkan orang kepadanya. Irfan berusaha menerangkan tokoh Buya dengan sederhana melalui cerminan dirinya. Bahwa Buya yang tenar dan banyak berjasa pada nusa, bangsa, negara dan agama inilah, pernah menjadi laki-laki yang dicaci orang di kampungnya karena tak tamat Diploma. Ayahnya yang sudah berjalan kaki dari pulau ke pulau ini pernah berkali-kali ditunggu maut. Irfan Hamka menuliskan, Buya Hamka bukanlah manusia sempurna, tapi mendapati yang begini amatlah langka.
Akhir kalam, buku ini bukan sekedar memorabilia. Irfan telah menuliskan segenap perasaan dan kenangannya menjadi guru yang bijak. Yang berhasil menyeret pembacanya ke dalam keinsyafan yang nyata, bahwa sejauh apapun waktu melaju, hal yang tak pernah menua adalah kenangan.
2024MPK0084.C1 | 922 HAM | Rak MPK (RMPK) | Tersedia |
2024MPK0084.C2 | 922 HAM | Rak MPK (RMPK) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain