Text
Pulang
Dalam kenyataan, eksil politik seperti Dimas Suryo dkk. itu (hingga) kini jumlahnya masih (se)ribuan, bahkan mungkin lebih, dan tersebar di berbagai negara Eropa. (Majalah berita mingguan Gamma, edisi 9 Januari 2000 mencatat [sampai dengan akhir 1999] ada sekitar 1400 orang). Pertanyaannya: mengapa dan bagaimana mereka sampai menjadi eksil politik? (Menjadi eksil politik jelas bukan pilihan mereka, tetapi rezim Orde Barulah yang memaksa mereka menyandang status itu).
Latar belakang yang membuat mereka terpaksa menjadi eksil memang beragam. Tetapi secara umum jawabannya bisa dilacak ke akhir 1950-an, ketika Presiden Sukarno dengan Dekritnya mencanangkan apa yang disebut Manipol USDEK (Manifestasi Politik UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Terkait dengan poin keempat, yakni Ekonomi Terpimpin, Sukarno menjabarkannya sebagai suatu cita-cita Indonesia sekian puluh tahun ke depan, yaitu Indonesia dengan ekonomi berdikari, yang sanggup mengolah segala bahan mentah – baik hasil tambang maupun pertanian dan perkebunan – yang ada di bumi Indonesia. Untuk itulah sejak 1960 hingga 1965 pemerintah secara bergelombang mengirimkam ribuan kaum muda untuk belajar di universitas-universitas di negara-negara blok sosialis, misalnya Uni Soviet, Yugoslavia, Rumania, Cekoslovakia, Hungaria, Albania, Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Kuba, RRT, dsb. (Negara-negara blok sosialis waktu itu memiliki kedekatan politik dengan Indonesia, dan hendak dijadikan sebagai model pembangunan industri oleh Presiden Sukarno). Mereka belajar di berbagai disiplin ilmu, dari teknik, kedokteran, ekonomi, pendidikan hingga linguistik.
Mereka yang dikirim ke negara-negara blok sosialis itu belum tentu memiliki haluan politik dan ideologi pada PKI. Namun yang jelas mereka mendukung ide Nasakom-nya Sukarno. Sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi dan kekuasaan Sukarno secara de facto sudah diambil-alih oleh Suharto dan rezim Orde Baru (dengan pilarnya Angkatan Darat) secara de facto pula sudah mulai berkuasa, mereka – para mahasiswa Indonesia di negara-negara blok sosialis itu – dihadapkan pada tuntutan politik rezim Orba: mengutuk G30S sebagai bikinan PKI dan menolak kepemimpinan Sukarno, atau mendukung tindakan Suharto membubarkan PKI dan sekaligus menerima kepemimpinannya. Bila mereka memilih pilihan pertama, maka mereka pun bisa pulang ke Tanah Air dengan aman, karena dianggap telah melakukan transformasi mental menjadi “Orde Baru”-is. (Salah satu contohnya adalah Tungki Aribowo, yang belajar di Yugolsavia, dan sepulang ke Indonesia lalu memimpin Krakatau Steel). Sebaliknya, bila mereka tidak memilih pilihan pertama, maka mereka bukan hanya dicap sebagai masih bermentalitas Sukarnois, tetapi juga pendukung atau simpatisan PKI. Konsekuensinya, status kewarganegaraan mereka sebagai WNI pun dicabut. Karena kebanyakan dari mereka merasa tidak tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi dengan G 30 S, serta masih memandang Sukarno sebagai pemimpin bangsa dan negara Indonesia, maka mereka pun mengalami konsekuensi itu: dicabut status mereka sebagai WNI. Mereka pun menjadi ‘stateless’ atau tak berkewarganegaraan.
Tidak ada salinan data
Tidak tersedia versi lain